Kamis, 08 Januari 2015

Gula di Jawa Tempo Dulu


Industri Gula di Jawa
Pada awalnya gula masuk ke wilayah nusantara dibawa oleh bangsa Cina sekitar abad ke 15 Masehi. Pengolahan tebu menjadi gula dilakukan secara tradisional yaitu menggunakan alat penggiling yang terdiri atas dua buah silinder batu atau kayu yang diletakkan secara berhimpitan. Di bawah silinder diletakkan kuali besar. Tonggak dipasangkan pada silinder. Untuk memutar silinder biasanya menggunakan tenaga manusia atau hewan ternak (sapi dan kerbau), kadang-kadang juga menggunakan kincir air sungai. Tebu dimasukkan ke rongga diantara dua silinder dan hasilnya berupa nira. Nira inilah yang akan diolah menjadi gula. Perdagangan gula secara tradisional inilah yang menaruh minat persekutuan dagang Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) datang ke nusantara pada tahun 1596. Pada tahun 1637, VOC berhasil mengekspor 10.000 pikul atau setara 625.000 kilogram gula per tahun yang dibeli dari orang Cina. Adanya keinginan monopoli perdagangan  dengan mengendalikan harga gula membuat orang Cina tidak lagi memproduksi gula sehingga perdagangan gula di nusantara menjadi lesu. Adanya korupsi para pejabat membuat  VOC dinyatakan bangkrut oleh  Kerajaan  Belanda. Akhirnya tahun 1799, VOC dibubarkan. Sebagai gantinya Kerajaan Belanda membentuk Pemerintah Hindia Belanda dibawah pimpinan Johannes van den Bosch. Penerapan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) membuat produksi gula meningkat. Dalam tempo 10 tahun, volume ekspor gula meningkat dari 6.710 ton pada tahun 1830 menjadi 61.750 ton pada tahun 1840. Tiga puluh tahun kemudian jumlah ekspor gula meningkat lebih dari seratus persen menjadi 146.670 ton. Perkembangan industri gula di Jawa tidak dapat dilepaskan dari Revolusi Industri yang berlangsung di negara barat yaitu penggunaan teknologi mesin uap yang dapat menggerakkan industri penggilingan tebu dalam skala  yang besar. Dalam kurun waktu 1820 sampai 1890, industri gula di Jawa mampu menguasai pasaran dunia, menggeser gula bit yang menjadi produk andalan Eropa. Pada dasarnya pertumbuhan industri gula didorong oleh empat hal, yaitu penggantian teknologi, restrukturisasi pabrik gula, pendirian lembaga riset dan pengenalan varietas baru. Adanya kebijakan liberalisasi perdagangan  membuat pihak swasta dapat menjalankan industri gula. Dua perusahaan swasta terbesar yang mendirikan pabrik gula adalah Oei Tiong Ham Concern di Semarang dan KGPAA Mangkunegara IV di Surakarta. Oei Tiong Ham mendirikan belasan pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan KGPAA Mangkunegara IV mendirikan Pabrik Gula Colomadu (1861) dan Pabrik Gula Tasikmadu (1871). Pada tahun 1887, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Proefstation Oost-Java (POJ) yang merupakan cikal bakal  Penelitian Perkebunan Gula Indonesia yang berpusat di Pasuruan, Jawa Timur. Salah satu hasil karyanya yang terkenal adalah bibit tebu varietas POJ 2878. Tebu varietas unggul ini kebal terhadap serangan hama sereh yang sering menghancurkan perkebunan tebu waktu itu. Inovasi-inovasi POJ membuahkan hasil yang luar biasa. Satu hektar tanaman tebu dapat menghasilkan 14, 79 ton gula kristal. Kebijakan liberalisasi inilah yang membuat Hindia Belanda tercatat sebagai eksportir kedua setelah Kuba. Industri gula memainkan perubahan penting dalam perubahan tradisi ekonomi di Jawa dari ekonomi pertanian ke mekanisasi ekonomi dalam kurun waktu 1880-1955. Di pertengahan abad ke-19, produksi gula di Jawa naik menjadi yang terbaik dibandingkan dengan produk pertanian dan perkebunan lainnya. Dalam peta ‘Suikerfabrieken op Java’ tercatat pada tahun 1914 terdapat 191 pabrik gula yang aktif berproduksi. Sedangkan dalam peta ‘ Kaart der Suikerfabrieken, Spoor en Tramwegen van Java en Madoera’ terdapat 200 pabrik gula pada tahun 1925. Perkembangan pabrik gula bukannya tidak mengenal hambatan. Setelah meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1920an, banyak bangunan pabrik gula yang hancur. Tercatat di wilayah Surakarta-Yogyakarta ada 15 buah bangunan pabrik gula yang roboh dan tinggal puing atau menjadi toponim daerah itu. Pada tahun 1930 yang dikenal sebagai malaise banyak sekali pabrik gula yang tutup dan tak berproduksi lagi. Perkembangan pabrik gula semakin tidak menentu semenjak Pendudukan Militer Jepang di Indonesia dan setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, pabrik gula yang masih bertahan hidup tinggal 50 buah pabrik gula. Pabrik gula adalah saksi sejarah perkembangan ekonomi nasional yang memberikan banyak keuntungan baik pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Jawa maupun rakyat Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 sampai pertengahan 1970an. Peninggalan sejarah pabrik gula tidak hanya bangunan fisik pabriknya saja namun juga sistem budaya pertanian tebu dan teknologi proses pembuatan gula dari tebu. Peninggalan sejarah inilah yang patut kita lestarikan demi pijakan yang arif untuk menatap masa depan.
Lintas Sejarah Pabrik Gula Colomadu
Dalam sejarah lama tercatat wilayah Malangjiwan merupakan bagian integral dari Keraton Kartasura Hadiningrat. Kata Malangjiwan berasal dari nama seorang pangeran yaitu Tumenggung Malangjiwa. Setelah peristiwa Geger Pecinan yang menyebabkan Keraton Kartasura hancur maka wilayah Malangjiwan menjadi wilayah dari Keraton Surakarta yang dikenal dengan nama Pajang Utara. Setelah Perjanjian Salatiga tahun 1757, wilayah Malangjiwan menjadi bagian dari  Praja Mangkunegaran Pada masa selanjutnya terjadi perubahan tata pemerintahan Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran dibagi menjadi 4 Kawedanan dimana wilayah Malangjiwan merupakan bagian dari Kawedanan Kota Mangkunegaran yang merupakan bagian dari Onderdistrik Colomadu. Pabrik Gula Colomadu dibangun setelah mendapat persetujuan dari residen Surakarta, Nieuwenhuyzen. Mangkunegara IV memerintahkan seorang ahli berkebangsaan Jerman, R. Kampf untuk membangun sebuah pabrik gula. Peletakan batu pertama dilakukan pada hari Minggu tanggal 8 Desember 1861. Biaya pembangunan pabrik mencapai f 400.000 yang modalnya sebagian besar diperoleh dari pinjaman yang berasal dari hasil keuntungan perkebunan kopi Mangkunegaran. Selain itu juga mendapat bantuan pinjaman dari Mayor Cina di Semarang Be Biauw Tjwan, teman dekat Mangkunegara IV. Pada tahun 1862 pabrik gula ini sudah siap untuk dioperasikan. Dalam upacara pembukaan pabrik itu Mangkunegara IV memberikan nama pabrik pertamanya tersebut Colomadu, suatu nama Jawa yang artinya gunung madu. Tidak ada penjelasan resmi mengapa menggunakan istilah itu, tetapi jika dilihat dalam tradisi penguasa Jawa maka nama itu mengandung suatu harapan agar kehadiran industri gula ini menjadi simpanan kekayaan Praja Mangkunegaran dalam bentuk butiran gula pasir berjumlah besar hingga menyerupai gunung. Oleh karena merupakan perusahaan pribadi, kendali perkebunan tebu berada di tangan Mangkunegara IV. Akan tetapi, pengelolaan perusahaan sehari-hari berada di tangan seorang administrator, yang untuk pertama kalinya dipercayakan kepada R. Kampf. Ia hanya memegang pabrik gula Colomadu selama 8 tahun, pada tahun 1870 ia digantikan oleh putranya G. Smith karena ia mendapat tugas dari Mangkunegara IV untuk mengelola perkebunan lain milik Mangkunegaran, yaitu perkebunan kopi yang memerlukan perombakan dan perluasan tanam.


KGPAA Mangkunegara IV
Semula industri gula Mangkunegaran merupakan industri gula milik pribadi keluarga  Mangkunegara IV. Akan tetapi industri itu itu diubah menjadi perusahaan praja pada masa menjelang wafatnya Sri Mangkunegara IV dengan pertimbangan untuk pengembangan lebih lanjut dan diperolehnya keuntungan yang lebih besar bagi kemakmuran Praja Mangkunegaran. Setelah melalui pasang surut dalam perjalanan usahanya, pada awal abad ke-20 pengelolaan industri gula Mangkunegaran berada di tangan komisi pengawas (commissie van beheer). Komisi ini terdiri dari tiga anggota, yaitu Mangkunegara VII sebagai ketua, Bupati Patih Mangkunegaran sebagai wakil ketua dan superintenden urusan kekayaan Mangkunegaran sebagai anggota. Dalam kegiatan sehari-hari, superintenden yang menjalankan kegiatan badan itu. Kantor superintenden berlokasi di kompleks Istana Mangkunegaran. Kantor superintenden ini membawahi perusahaan-perusahaan milik Praja Mangkunegaran, termasuk industri gula Colomadu dan Tasikmadu.  Pada masa penjajahan Belanda, jabatan superintenden selalu dipegang oleh orang Belanda dengan pertimbangan akan kecakapan dalam pengelolaan industri gula. Setiap pabrik gula dipimpin seorang administratur. Dibawah administratur terdapat karyawan pabrik gula seperti : kepala laboran, pemegang buku, mandor dan sebagainya. Sementara para pekerja hampir semua berasal dari orang Jawa terutama rakyat di sekitar Pabrik Gula Colomadu. Pada masa pendudukan Jepang, manajemen pabrik gula berubah total. Lembaga commissie van beheer dianggap berbau Belanda dan diubah namanya menjadi Perusahaan Perkebunan Mangkunegaran (PPMN). Jabatan superintenden yang semula dijabat orang Belanda diganti oleh orang Indonesia sendiri demikian juga dengan administratur dan karyawan pabrik gula.  Adanya Revolusi Sosial di Surakarta tahun 1946 menjadikan pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dihapuskan dan disatukan dalam Dewan Pertahanan Daerah Surakarta. Dengan dihapuskannya pemerintahan Mangkunegaran, maka semua badan usaha termasuk industri gula Mangkunegaran diambilalih pengelolaannya oleh pemerintah Republik Indonesia jauh sebelum adanya program nasionalisasi tahun 1957. 
 Pabrik Gula Colomadu 1870
Pada tahun 1947, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 yang memuat tentang Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI), sehingga Pabrik Gula Colomadu menjadi milik pemerintah Republik Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1960, PPRI dimasukkan dalam Pusat Perkebunan Negara (PPN) . Adanya Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1963 tentang pembentukan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara Gula dan Karung Goni yang berpusat di Jakarta memberikan hak dan wewenang kepada PPN dalam mengatur perusahaan pabrik gula seolah-olah merupakan perusahaan yang berdiri sendiri. Pabrik Gula Colomadu masuk wilayah PPN Kesatuan Jateng V. Di tahun 1968 keluarlah Peraturan Pemerintah No. 14 tentang pembentukan Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP). Sehubungan reorganisasi perkebunan tahun 1981, maka PNP dibubarkan. Dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 28 April 1981 tentang pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO), eks PNP XV dan PNP XVI digabung menjadi satu dengan nama PT Perkebunan XV-XVI (PERSERO) yang berkedudukan di Kota Solo. Seiring dengan merosotnya hasil produksi dan berkurangnya lahan tanaman tebu maka pada tanggal 1 Mei 1997, Pabrik Gula Colomadu melakukan penggilingan terakhir dan berhenti beroperasi.


Daftar Pustaka
Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. Yogyakarta: LKiS
AK. Pringgodigdo. 1950. Geschiedenis der Ondernemingen van Het Mangkoenegorosche Rijk.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar