Kamis, 08 Januari 2015


                                         Wayang beber gaya Solo menggunakan media kaca

                         Merupakan salah satu adegan wayang beber Remengmangunjoyo, Gunung Kidul

Gula di Jawa Tempo Dulu


Industri Gula di Jawa
Pada awalnya gula masuk ke wilayah nusantara dibawa oleh bangsa Cina sekitar abad ke 15 Masehi. Pengolahan tebu menjadi gula dilakukan secara tradisional yaitu menggunakan alat penggiling yang terdiri atas dua buah silinder batu atau kayu yang diletakkan secara berhimpitan. Di bawah silinder diletakkan kuali besar. Tonggak dipasangkan pada silinder. Untuk memutar silinder biasanya menggunakan tenaga manusia atau hewan ternak (sapi dan kerbau), kadang-kadang juga menggunakan kincir air sungai. Tebu dimasukkan ke rongga diantara dua silinder dan hasilnya berupa nira. Nira inilah yang akan diolah menjadi gula. Perdagangan gula secara tradisional inilah yang menaruh minat persekutuan dagang Belanda, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) datang ke nusantara pada tahun 1596. Pada tahun 1637, VOC berhasil mengekspor 10.000 pikul atau setara 625.000 kilogram gula per tahun yang dibeli dari orang Cina. Adanya keinginan monopoli perdagangan  dengan mengendalikan harga gula membuat orang Cina tidak lagi memproduksi gula sehingga perdagangan gula di nusantara menjadi lesu. Adanya korupsi para pejabat membuat  VOC dinyatakan bangkrut oleh  Kerajaan  Belanda. Akhirnya tahun 1799, VOC dibubarkan. Sebagai gantinya Kerajaan Belanda membentuk Pemerintah Hindia Belanda dibawah pimpinan Johannes van den Bosch. Penerapan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) membuat produksi gula meningkat. Dalam tempo 10 tahun, volume ekspor gula meningkat dari 6.710 ton pada tahun 1830 menjadi 61.750 ton pada tahun 1840. Tiga puluh tahun kemudian jumlah ekspor gula meningkat lebih dari seratus persen menjadi 146.670 ton. Perkembangan industri gula di Jawa tidak dapat dilepaskan dari Revolusi Industri yang berlangsung di negara barat yaitu penggunaan teknologi mesin uap yang dapat menggerakkan industri penggilingan tebu dalam skala  yang besar. Dalam kurun waktu 1820 sampai 1890, industri gula di Jawa mampu menguasai pasaran dunia, menggeser gula bit yang menjadi produk andalan Eropa. Pada dasarnya pertumbuhan industri gula didorong oleh empat hal, yaitu penggantian teknologi, restrukturisasi pabrik gula, pendirian lembaga riset dan pengenalan varietas baru. Adanya kebijakan liberalisasi perdagangan  membuat pihak swasta dapat menjalankan industri gula. Dua perusahaan swasta terbesar yang mendirikan pabrik gula adalah Oei Tiong Ham Concern di Semarang dan KGPAA Mangkunegara IV di Surakarta. Oei Tiong Ham mendirikan belasan pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan KGPAA Mangkunegara IV mendirikan Pabrik Gula Colomadu (1861) dan Pabrik Gula Tasikmadu (1871). Pada tahun 1887, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Proefstation Oost-Java (POJ) yang merupakan cikal bakal  Penelitian Perkebunan Gula Indonesia yang berpusat di Pasuruan, Jawa Timur. Salah satu hasil karyanya yang terkenal adalah bibit tebu varietas POJ 2878. Tebu varietas unggul ini kebal terhadap serangan hama sereh yang sering menghancurkan perkebunan tebu waktu itu. Inovasi-inovasi POJ membuahkan hasil yang luar biasa. Satu hektar tanaman tebu dapat menghasilkan 14, 79 ton gula kristal. Kebijakan liberalisasi inilah yang membuat Hindia Belanda tercatat sebagai eksportir kedua setelah Kuba. Industri gula memainkan perubahan penting dalam perubahan tradisi ekonomi di Jawa dari ekonomi pertanian ke mekanisasi ekonomi dalam kurun waktu 1880-1955. Di pertengahan abad ke-19, produksi gula di Jawa naik menjadi yang terbaik dibandingkan dengan produk pertanian dan perkebunan lainnya. Dalam peta ‘Suikerfabrieken op Java’ tercatat pada tahun 1914 terdapat 191 pabrik gula yang aktif berproduksi. Sedangkan dalam peta ‘ Kaart der Suikerfabrieken, Spoor en Tramwegen van Java en Madoera’ terdapat 200 pabrik gula pada tahun 1925. Perkembangan pabrik gula bukannya tidak mengenal hambatan. Setelah meletusnya Gunung Merapi pada tahun 1920an, banyak bangunan pabrik gula yang hancur. Tercatat di wilayah Surakarta-Yogyakarta ada 15 buah bangunan pabrik gula yang roboh dan tinggal puing atau menjadi toponim daerah itu. Pada tahun 1930 yang dikenal sebagai malaise banyak sekali pabrik gula yang tutup dan tak berproduksi lagi. Perkembangan pabrik gula semakin tidak menentu semenjak Pendudukan Militer Jepang di Indonesia dan setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, pabrik gula yang masih bertahan hidup tinggal 50 buah pabrik gula. Pabrik gula adalah saksi sejarah perkembangan ekonomi nasional yang memberikan banyak keuntungan baik pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Jawa maupun rakyat Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945 sampai pertengahan 1970an. Peninggalan sejarah pabrik gula tidak hanya bangunan fisik pabriknya saja namun juga sistem budaya pertanian tebu dan teknologi proses pembuatan gula dari tebu. Peninggalan sejarah inilah yang patut kita lestarikan demi pijakan yang arif untuk menatap masa depan.
Lintas Sejarah Pabrik Gula Colomadu
Dalam sejarah lama tercatat wilayah Malangjiwan merupakan bagian integral dari Keraton Kartasura Hadiningrat. Kata Malangjiwan berasal dari nama seorang pangeran yaitu Tumenggung Malangjiwa. Setelah peristiwa Geger Pecinan yang menyebabkan Keraton Kartasura hancur maka wilayah Malangjiwan menjadi wilayah dari Keraton Surakarta yang dikenal dengan nama Pajang Utara. Setelah Perjanjian Salatiga tahun 1757, wilayah Malangjiwan menjadi bagian dari  Praja Mangkunegaran Pada masa selanjutnya terjadi perubahan tata pemerintahan Praja Mangkunegaran. Praja Mangkunegaran dibagi menjadi 4 Kawedanan dimana wilayah Malangjiwan merupakan bagian dari Kawedanan Kota Mangkunegaran yang merupakan bagian dari Onderdistrik Colomadu. Pabrik Gula Colomadu dibangun setelah mendapat persetujuan dari residen Surakarta, Nieuwenhuyzen. Mangkunegara IV memerintahkan seorang ahli berkebangsaan Jerman, R. Kampf untuk membangun sebuah pabrik gula. Peletakan batu pertama dilakukan pada hari Minggu tanggal 8 Desember 1861. Biaya pembangunan pabrik mencapai f 400.000 yang modalnya sebagian besar diperoleh dari pinjaman yang berasal dari hasil keuntungan perkebunan kopi Mangkunegaran. Selain itu juga mendapat bantuan pinjaman dari Mayor Cina di Semarang Be Biauw Tjwan, teman dekat Mangkunegara IV. Pada tahun 1862 pabrik gula ini sudah siap untuk dioperasikan. Dalam upacara pembukaan pabrik itu Mangkunegara IV memberikan nama pabrik pertamanya tersebut Colomadu, suatu nama Jawa yang artinya gunung madu. Tidak ada penjelasan resmi mengapa menggunakan istilah itu, tetapi jika dilihat dalam tradisi penguasa Jawa maka nama itu mengandung suatu harapan agar kehadiran industri gula ini menjadi simpanan kekayaan Praja Mangkunegaran dalam bentuk butiran gula pasir berjumlah besar hingga menyerupai gunung. Oleh karena merupakan perusahaan pribadi, kendali perkebunan tebu berada di tangan Mangkunegara IV. Akan tetapi, pengelolaan perusahaan sehari-hari berada di tangan seorang administrator, yang untuk pertama kalinya dipercayakan kepada R. Kampf. Ia hanya memegang pabrik gula Colomadu selama 8 tahun, pada tahun 1870 ia digantikan oleh putranya G. Smith karena ia mendapat tugas dari Mangkunegara IV untuk mengelola perkebunan lain milik Mangkunegaran, yaitu perkebunan kopi yang memerlukan perombakan dan perluasan tanam.


KGPAA Mangkunegara IV
Semula industri gula Mangkunegaran merupakan industri gula milik pribadi keluarga  Mangkunegara IV. Akan tetapi industri itu itu diubah menjadi perusahaan praja pada masa menjelang wafatnya Sri Mangkunegara IV dengan pertimbangan untuk pengembangan lebih lanjut dan diperolehnya keuntungan yang lebih besar bagi kemakmuran Praja Mangkunegaran. Setelah melalui pasang surut dalam perjalanan usahanya, pada awal abad ke-20 pengelolaan industri gula Mangkunegaran berada di tangan komisi pengawas (commissie van beheer). Komisi ini terdiri dari tiga anggota, yaitu Mangkunegara VII sebagai ketua, Bupati Patih Mangkunegaran sebagai wakil ketua dan superintenden urusan kekayaan Mangkunegaran sebagai anggota. Dalam kegiatan sehari-hari, superintenden yang menjalankan kegiatan badan itu. Kantor superintenden berlokasi di kompleks Istana Mangkunegaran. Kantor superintenden ini membawahi perusahaan-perusahaan milik Praja Mangkunegaran, termasuk industri gula Colomadu dan Tasikmadu.  Pada masa penjajahan Belanda, jabatan superintenden selalu dipegang oleh orang Belanda dengan pertimbangan akan kecakapan dalam pengelolaan industri gula. Setiap pabrik gula dipimpin seorang administratur. Dibawah administratur terdapat karyawan pabrik gula seperti : kepala laboran, pemegang buku, mandor dan sebagainya. Sementara para pekerja hampir semua berasal dari orang Jawa terutama rakyat di sekitar Pabrik Gula Colomadu. Pada masa pendudukan Jepang, manajemen pabrik gula berubah total. Lembaga commissie van beheer dianggap berbau Belanda dan diubah namanya menjadi Perusahaan Perkebunan Mangkunegaran (PPMN). Jabatan superintenden yang semula dijabat orang Belanda diganti oleh orang Indonesia sendiri demikian juga dengan administratur dan karyawan pabrik gula.  Adanya Revolusi Sosial di Surakarta tahun 1946 menjadikan pemerintahan Kasunanan dan Mangkunegaran dihapuskan dan disatukan dalam Dewan Pertahanan Daerah Surakarta. Dengan dihapuskannya pemerintahan Mangkunegaran, maka semua badan usaha termasuk industri gula Mangkunegaran diambilalih pengelolaannya oleh pemerintah Republik Indonesia jauh sebelum adanya program nasionalisasi tahun 1957. 
 Pabrik Gula Colomadu 1870
Pada tahun 1947, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 9 yang memuat tentang Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI), sehingga Pabrik Gula Colomadu menjadi milik pemerintah Republik Indonesia. Dalam perkembangan selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1960, PPRI dimasukkan dalam Pusat Perkebunan Negara (PPN) . Adanya Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1963 tentang pembentukan Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara Gula dan Karung Goni yang berpusat di Jakarta memberikan hak dan wewenang kepada PPN dalam mengatur perusahaan pabrik gula seolah-olah merupakan perusahaan yang berdiri sendiri. Pabrik Gula Colomadu masuk wilayah PPN Kesatuan Jateng V. Di tahun 1968 keluarlah Peraturan Pemerintah No. 14 tentang pembentukan Perusahaan Nasional Perkebunan (PNP). Sehubungan reorganisasi perkebunan tahun 1981, maka PNP dibubarkan. Dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Keuangan tanggal 28 April 1981 tentang pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO), eks PNP XV dan PNP XVI digabung menjadi satu dengan nama PT Perkebunan XV-XVI (PERSERO) yang berkedudukan di Kota Solo. Seiring dengan merosotnya hasil produksi dan berkurangnya lahan tanaman tebu maka pada tanggal 1 Mei 1997, Pabrik Gula Colomadu melakukan penggilingan terakhir dan berhenti beroperasi.


Daftar Pustaka
Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran. Yogyakarta: LKiS
AK. Pringgodigdo. 1950. Geschiedenis der Ondernemingen van Het Mangkoenegorosche Rijk.



Urgensi Pelestarian Cagar Budaya di Kota Solo


Dalam era globalisasi saat ini yang disertai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, telah mempengaruhi tatanan budaya dalam segala aspek kehidupan masyarakat,tidak terkecuali di kota Solo.  Kota Solo sebagai ’spirit of Java’ (jantung Jawa) merupakan simbol entitas dari sebuah peradaban. Bahkan, Ben Anderson pernah menyebut  Solo sebagai kota yang tak pernah tidur, dimana dinamika masyarakatnya terus berkembang dan dinamis mengikuti perubahan jaman. Kota Solo merupakan salah satu kota tua di Indonesia yang menyimpan berbagai peninggalan kebudayaan dari bermacam etnik, baik pada jaman sejarah maupun prasejarah.  Namun, masih banyak aset tinggalan masa lalu yang belum menarik minat pemerintah daerah untuk mengelola apalagi mengembangkan untuk pemanfaatan secara maksimal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor penghambat, terutama belum ada sumber daya manusia (SDM) yang dapat mengelola secara tepat dan benar, ataupun terabaikan oleh sumber daya lain yang dianggap lebih potensial dipandang dari segi ekonomi, walaupun efek negatif yang ditimbulkan akan lebih besar. Potensi sumber daya budaya kota Solo sangat kaya dan beraneka warna, yang berdasakan jenisnya terdiri dari budaya material dan non material. Hal tersebut menjadi bagian suatu bukti adanya sejarah proses pembentukan perjuangan dan perkembangan bangsa Indonesia. Dalam hal ini, bukti artefaktual tersebut dapat digunakan untuk menandai suatu ciri-ciri zaman. Oleh karena itu, musnah atau hilangnya unsur-unsur tinggalan tersebut, dapat berpengaruh pula terhadap  hilangnya bukti-bukti material satu babakan aktivitas masa lampau manusia.
Pelestarian
Dalam Pasal 1 ayat 22 UU No.11 Tahun 2010 pengertian pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Konsep utama pelestarian adalah kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan. Perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis, namun secara alami dan terseleksi. Pelestarian bisa berupa pembangunan atau pengembangan dengan melakukan upaya preservasi, restorasi, replikasi, rekonstruksi, rehabilitasi, revitalisasi  suatu aset masa lalu.  Dengan demikian pelestarian juga merupakan upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa mendatang (Adisakti,2003).
Berangkat dari konsep tersebut, maka pelestarian sangat terkait erat dengan dinamika kehidupan yang terus berkembang. Pelestarian di satu sisi mempertahankan dan di sisi lain mengembangkan bahkan merubah atau menambah (memodifikasi) komponennya. Perkembangan konsep pelestarian ini perlu di dukung kepekaan untuk memutuskan mana benang merah  budaya yang perlu dipertahankan, dan mana yang perlu dikembangkan, atau bahkan diubah sehingga ruang kehidupan tetap tumbuh dinamik seiring dengan pusaka budaya lama yang bernilai tetap lestari. Konsep tersebut menunjukkan bahwa dalam  pelestarian terkandung kegiatan pembangunan.
Dalam pemanfaatan benda cagar budaya, sesuai ketentuan yang berlaku dapat dilakukan dengan mengajukan ijin kepada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Seringkali dalam pemanfaatan tersebut diperlukan proses rehabilitasi dengan modifikasi pada beberapa komponen yang disesuaikan dengan tuntutan   fasilitas dan kenyamanan fungsi yang baru. Untuk keperluan tertsebut perlu adanya pengkajian terhadap perencanaan pemanfaatan dan revitalisasi oleh Tim Penilai agar dalam pemanfaatan nantinya tetap mempertimbangkan aspek pelestarian. Dalam merumuskan konsep pemanfatan dan revitalisasi benda cagar budaya, pendekatan yang dilakukan akan sangat kasuistik tergantung dari karakteristik setiap cagar budaya. Dengan demikian rambu-rambu detail teknis pemanfaatan dan revitalisasi dirumuskan oleh suatu forum yang terdiri dari Tim Penilai, Pemilik/Pengelola, serta Konsultan Perencana. Forum inilah yang akan secara selektif mencari benang merah mana bagian yang perlu dipertahankan dan mana bagian yang dapat dikembangkan sehingga cagar budaya  tetap lestari namun nyaman untuk masa kini, karena nilainya semakin tinggi dan bergengsi.  
Berdasarkan kategorisasinya,  benda cagar budaya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : death monument adalah bangunan yang secara fungsional pernah ditinggalkan oleh pendukungnya sehingga tidak lagi berfungsi sebagaimana waktu dibangun. Contohnya adalah bangunan candi, benteng dan sebagainya. Sedangkan living monument adalah bangunan yang secara terus menerus dimanfaatkan oleh masyarakat pendukungnya. Contohnya adalah masjid, gereja, klenteng, keraton, fasilitas pendidikan, rumah sakit, stasiun, dan rumah tinggal. 
Untuk death monument rambu-rambu pemanfaatan dan revitalisasi lebih difokuskan pada aspek pelestariannya. Dengan demikian, bahan, desain dan setting semaksimal mungkin dipertahankan keasliannya. Sedangkan untuk living monument rambu-rambu pemanfaatan dan revitalisasi harus mengakomodasi kepentingan pemanfaatan namun tetap dalam koridor pelestarian.


Nilai Penting
Pemahaman tinggalan budaya masa lalu di kota Solo sebagai kawasan  budaya tidak akan lengkap jika hanya didekati satu aspek ilmu pengetahuan saja. Sifat multi disiplin kawasan budaya tercermin dari banyaknya aspek ilmu pengetahuan yang dapat diaplikasikan secara tepat di ranah yang sekilas tidak menjanjikan apa-apa. Tinggalan masa lampau yang unik menjadikan kawasan budaya memiliki nilai ekonomi, baik yang bersumber dari tinggalan budaya itu sendiri maupun lingkungan pendukungnya. Sebagai suatu lingkungan hunian, penduduk yang tinggal di kawasan budaya ini memiliki sifat-sifat sosial dan budaya yang sangat khas. 
Pemahaman atas nilai ilmiah, nilai ekonomi dan nilai kemanusiaan seperti diatas merupakan nilai dasar strategis yang dimiliki oleh setiap kawasan budaya. Pemahaman inilah yang merupakan hal pokok di dalam melakukan identifikasi untuk pengelolaannya, yang pada hakekatnya adalah usaha pemanfaatan dan perlindungan. Pemberdayaan atau pemanfaatan kawasan budaya dapat dilaksanakan dengan cara memperhatikan kelestarian kawasan tersebut. Pengembangan kawasan ini tidak boleh meninggalakan jiwa kawasan. Jiwa kawasan ini dapat berupa peninggalan-peninggalan material atau material culture maupun tradisi-tradisi yang masih berkembang di wilayah tersebut atau living culture. 
Akhir

Satu hal yang perlu dipahami adalah kota bukan ciptaan satu generasi tetapi terus tumbuh dari satu generasi ke generasi yang lain. Karya suatu generasi patut mendapat tempat sebagai bagian dari suatu kota. Kota Solo  merupakan  salah satu kawasan budaya tertua di Indonesia.  Keberadaan dan kelangsungan kawasan cagar budaya kota Solo menjadi tanggung jawab kita bersama. Kawasan cagar budaya telah dilindungi Undang-undang RI Nomor 11 tahun 2010 tentang  Cagar Budaya  dan Peraturan Daerah (Perda) Kota Solo tentang bangunan, maka memiliki nilai penting dan bermanfaat bagi umat manusia   sehingga  peninggalan budaya tersebut perlu dilestarikan. Semoga.

wayang beber bu ning

Bu Ning : Penjaga Memori Wayang Beber 


Wayang sebagai sebuah kesenian warisan nenek moyang yang telah ada secara turun-temurun sampai dengan generasi sekarang bukanlah sekadar tontonan hiburan yang tanpa nilai filosofi, melainkan dipercaya sebagai wewayangane ngaurip, yaitu “bayangan hidup manusia”. Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat dipelajari dan direnungkan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga ajal tiba, perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertunjukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal kebaikan guna mendapatkan kehidupan yang penuh makna. Wayang juga secara nyata menggambarkan konsep hidup sangkan paraning dumadi, manusia berasal dari Sang Pencipta dan akan kembali kepada-Nya.  
Wayang Beber
Wayang beber adalah bentuk seni pertunjukan yang dijalankan dengan cara dibeber atau dibentangkan. Alat bantu yang digunakan untuk membentangkan wayang beber ini sendiri adalah lonjoran kayu yang terletak di kanan dan kiri gulungan yang dinamakan dengan seligi. Seligi yang sudah terbentang tersebut kemudian dimasukkan dalam lobang yang ada pada ujung kanan dan kiri tempat penyimpanan gulungan yang disebut dengan ceblokan. Pertunjukan wayang beber dalam kondisi normal membutuhkan waktu sekitar 90 menit. Pengiring pertunjukan wayang beber sangat sederhana yang terdiri dari Gong, Kenong, Kendang dan Rebab dengan notasi yang masih sederhana.  Inilah yang menjadikan wayang beber memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan seni pertunjukan wayang lain yang ada di Indonesia.
Menurut Serat Centhini, ketika Jaka Susuruh bertakhta di Majapahit dengan gelar Raja Bratana, dia membuat gambar wayang mencontoh gambar wayang dari Kediri atau Jenggala. Namun gambar wayang tersebut tidak digoreskan pada daun rontal melainkan pada kertas Jawa (dluwang) yang digulung menjadi satu. Pengerjaan wayang tersebut selesai pada tahun 1361 M. Wayang beber kemudian berkembang hingga zaman Majapahit akhir. Konon pada saat itu ada putra Prabu Brawijaya yang sangat pandai menggambar hingga hasil gambarnya terkenal dengan nama Sungging Prabangkara. Dia bertugas melengkapi dan membuat pakaian wayang beber yang tertera diatas kertas dengan menggunakan cat yang beraneka warna dan disesuaikan dengan wujud dan tingkatannya. Karya ini selesai pada tahun 1378 M.  Wayang beber yang mengambil cerita Panji diperkirakan baru muncul pada zaman Mataram Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Kasunanan Kartasura. Kala itu raja yang memerintah adalah Sunan Amangkurat II (1677-1703). Wayang beber di zaman Mataram Kartasura dibuat dari kertas lokal, yakni kertas Jawa (dluwang) dari Ponorogo. Cerita yang ditampilkan antara lain Jaka Kembang Kuning, salah satu episode cerita Panji. Pembuatannya selesai dengan sengkalan memet berupa gambar seorang lelaki pencari ikan, menjamah seorang wanita penjual kue serabi di Pasar Tumenggungan Paloamba, masih dinihari, sepi belum ada orang yang berada di pasar, kecuali kedua orang itu. Menjadi kalimat sengkalan tahun berbunyi “Gawe Srabi Jinamah ing Wong”, yang berarti gawe: 4, Srabi: 1, Jinamah: 6 dan Wong: 1, kalau dibalik dan disusun angkanya menjadi 1614. Hal ini berdasarkan catatan Ma Huan, wayang beber Pacitan diperkirakan dibuat pada tahun 1614 tahun Jawa atau 1692 Masehi. Ma Huan adalah seorang pelaut dari Cina yang mengiringi perjalanan Laksamana Ceng Ho dalam perjalanannya mengelilingi dunia. Kemudian pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat III atau Sunan Mas, dilakukan penyempurnaan lagi terhadap lukisan wayang beber. Wajah dan pakaian yang dikenakan tokoh-tokoh utama, seperti Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana, disesuaikan dengan penampilan Arjuna dan tokoh perempuan yang cantik sebagai tokoh-tokoh wayang purwa. Selanjutnya pada era pemerintahan Sunan Paku Buwono II lukisan wayang beber di ubah lagi, terutama pada ilustrasi yang melatarbelakangi penampilan tokoh. Ilustrasi yang ada dikurangi dan disederhanakan, sehingga penampilan wayang beber menjadi lebih  klasik dan tidak rumit. Sosok tokoh menjadi kelihatan menonjol. Kisah cinta Panji Asmarabangun, oleh Paku Buwono II dibuat menjadi lakon Remeng Mangunjaya yang sekarang dikenal sebagai wayang beber Gelaran, Wonosari.

Bu Ning
Hermin Istiariningsih adalah pelukis spesialis wayang beber, khususnya wayang beber versi Pacitan. Saat ini jumlah wayang beber amat langkah, boleh jadi dia dalah satu-satunya perempuan pelukis. Oleh sebab itu, Bu Ning, demikian panggilan akrabnya, tergolong “manusia langka”.
Lahir di Kediri, 2 Februari 1954. Bu Ning adalah “pelukis alam”. Dalam soal melukis, Bu Ning termasuk pelukis otodidak. Dia mulai melukis pada tahun 1984, tanpa melewati pendidikan seni rupa secara formal. Dari pengalaman dan pergaulannya dengan para perupa membawanya semakin matang dalam berkarya. Keahlian Bu Ning yang lain adalah melukis pada kaca. Keahliannya ini tergolong langka pula. Jumlah pelukis kaca di Indonesia saat ini tidak banyak. Itu sebabnya, keahliannya melukis wayang beber yang klasik-dekoratif  tergolong local genius yang patut dilestarikan. Paling tidak lukisan yang merupakan visual roman sejarah masa lalu dikoleksi sehingga dapat dijadikan dokumentasi budaya dan seni klasik warisan bangsa Indonesia. Karya-karyanya, dalam beberapa tema, baik pada media kaca maupun pada media kain, telah banyak tersebar di dalam negeri dan luar negeri. 
Pameran yang pernah dilakukan Bu Ning adalah :
Pameran Hari TNI Manunggal di Wonosaren, Solo tanggal 1 Februari 2001
Pameran Tunggal di Lor In Hotel tanggal 16 Februari – 1 Maret 2004
Pameran Peresmian Gedung Pertanian di Karanganyar tanggal 29 Februari 2004.
Pameran di Balai Soedjatmoko Solo tanggal 15 -23 April 2004
Pameran di STSI Solo Stanggal 19-22 April 2004
Pameran di Bentara Budaya Jakarta tanggal 7 -16 Juli 2004
Pameran di Balai Soedjatmoko Solo tanggal 18 -24 September 2004
Pameran di STSI Solo tanggal 19-21 April 2005
Pameran di Bentara Budaya Jakarta tanggal 8 – 12 Juni 2005.
Pameran di Dewan Kesenian Jateng Semarang tanggal 18 -25 September 2005.
Pameran di TBS Propinsi Jateng tanggal 29 Agustus – 4 September 2006.
Pameran di Benteng Vredeburg Yogyakarta tanggal 27 Desember – 7 Januari 2007.
Pameran di Ubud, Bali tanggal 12 – 23 Juli 2006
Pameran “ Perupi Nyusup Kampung “ di Sanggar Bodronoyo, Kulonprogo
Pameran Seni Rupa Ekspresi Seni Joglosemar di TBS Jateng tanggal 23-28 Oktober 2007.
Pameran Hari Kartini di Solo Square tanggal 16- 22 April 2007.
Pameran di Srigading, Solo tanggal 26 Desember 2010
Pameran Tradisi di Taman Budaya Surakarta tanggal 24 Nopember 2012
Pameran dalam rangka Ultah BRI tanggal 19 Nopember 2012

Pameran Seni Rupa Wayang Beber di Balai Soedjatmoko Solo tanggal 26 Maret – 1 April 2013.